MY BANNER

Belajar Belajar

Kamis, 29 Juli 2010

RENUNGAN RAMADHAN

Ketika Bumi Dipenuhi Malaikat (1)

Lailatul Qadr pertama kali dijumpai Nabi ketika beliau menerima wahyu untuk pertama kalinya. Hal yang amat menarik adalah Nabi sebelum kedatangan jibril sedang menyendiri, bertafakur dan berkontemplasi. Nabi memikirkan keadaan lingkungan sekitarnya yang mempraktekkan adat jahiliyah. Nabi menyingkir dari suasana yang tak sehat itu sambil merenung dan menghela nafas sejenak dari hiruk pikuk kota Mekkah. Nabi menetap di gua hira' untuk kemudian berkontemplasi guna mensucikan dirinya. Pada saat itulah turun malaikat Jibril alaihis salam.

Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kisah ini? Pertama, di tengah masyarakat yang tak lagi mengindahkan etika, moral dan hati nurani, kita harus menyingkir sejenak untuk memikirkan kondisi masyarakat tersebut.

Kedua, di tengah masyarakat yang giat mengerjakan maksiyat, kita harus menghela nafas sejenak dan mencoba untuk mensucikan diri kita sendiri terlebih dahulu sebelum mensucikan masyarakat luas.
Ketiga, di tengah "kesendirian" kita, kita berkontemplasi untuk mencari solusi terbaik dari persoalan yang dihadapi.

Ketika Nabi menganjurkan kita untuk melakukan i'tikaf di sepuluh malam terakhir ramadhan, khususnya malam yang ganjil, saya menangkap bahwa sebenarnya kita dianjurkan untuk melakukan napak tilas proses pencerahan dan pensucian diri Nabi saat mendapati Lailatul Qadr.

Seyogyanya, i'tikaf yang kita lakukan tidak hanya berisikan alunan ayat suci Al-Qur'an dan dzikir semata. Akan jauh lebih baik bila saat i'tikaf kita pun memikirkan kondisi masyarakat sekitar kita, persis seperti yang telah dilakukan Nabi ratusan tahun yang lalu di gua Hira'. Insya Allah, ketika saat malam yang mulia itu tiba kita sudah siap menyambut dan menjumpainya.

Namun satu hal yang sangat penting untuk diingat bahwa setiap ibadah maupun gerak hidup kita seharusnya ditujukan untuk mencari keridhaan Allah semata.Silahkan anda mencari Lailatul Qadr, namun jangan menjadi tujuan anda yang hakiki. Tujuan kita beri'tikaf dan beribadah di sepuluh malam terakhir nanti adalah untuk mencari keridhaan Allah.

Kalau yang anda kejar semata-mata hanyalah Lailatul Qadr, jangan-jangan anda tak mendapatkannya sama sekali. Tetapi kalau keridhaan Allah yang kita cari, maka terserah kepada Allah untuk mewujudkan keridhaan-Nya itu pada kita; apakah itu berbentuk Lailatul Qadr atau bentuk yang lain.

Bukankah shalat kita, hidup dan mati kita untuk Allah semata? Dan Sungguh Allah jauh lebih mulia daripada Lailatul Qadr!



Ketika Bumi Dipenuhi Malaikat (2)
Lailatul Qadr, betapa mulianya malam itu!

Al-Qur'an menginformasikan bagaimana para Malaikat dan Jibril turun ke bumi atas izin Allah SWT.; bagaimana malam itu dilukiskan sebagai lebih mulia dari seribu bulan; bagaimana bumi penuh sesak dengan kehadiran para malaikat itu.

Rasul menganjurkan kita untuk mencari malam itu, yang saking mulianya sehingga dirahasiakan kepastiannya oleh Allah. Rasul hanya memberi petunjuk untuk mencarinya di sepuluh malam terakhir Ramadhan, khususnya di malam-malam yang ganjil.

Pertanyaannya, di sepuluh malam itu apa yang sebaiknya kita lakukan? Persiapan apa yang harus kita lakukan menunggu datangnya para tamu agung dari langit itu, sikap apa yang harus kita ambil ketika ternyata para tamu itu mampir ke rumah kita, dan, akhirnya, ibadah apa yang mesti kita lakukan di saat datangnya malam itu?

Banyak riwayat yang menjelaskan hal itu, banyak pula saran dan kisah para ulama yang bisa kita jadikan patokan. Namun, saya menyarankan untuk melakukan dua hal.

Pertama, banyak-banyaklah berdekah. Sungguh hanya di bumi inilah kita mendapati saudara kita yang kekurangan. Hanya di bumi

orang-orang kaya memberikan makanan kepada kaum fukara wal masakin. Kedua, merintih dan menangislah kita untuk memohon ampunan Allah.

Dua amalan itu merupakan amalan yang malaikat tak sanggup melakukannya. Bukankah di langit tak ada yang miskin, sehingga mustahil malaikat bisa bersedekah. Malaikat yang suci itu tentu saja tak pernah melakukan maksiyat, karenanya mereka adalah suci. Mereka tak pernah merintih dan menangisi dosa mereka. Kitalah yang mampu melakukannya.


Dalam Tafsir al-Fakhr ar-Razi diceritakan bagaimana Allah berkata, "rintihan pendosa itu lebih aku sukai daripada gemuruh suara tasbih". Malaikat mampu melakukan tasbih, namun gemuruh suara tasbih dari para malaikat kalah kualitasnya dibanding rintihan dan tangisan kita yang memohon ampun pada Allah SWT.

Mari kita sambut Lailatul Qadr dengan dua amalan yang bahkan malaikat pun tak sanggup melakukannya. Bersedekah-lah.... kemudian menangis dan memohon ampunan ilahi. Siapa tahu, ada malaikat yang bersedia mampir ke rumah kita; dan malam itu menjadi milik kita, insya Allah!



Syams yang misterius
Jalaluddin Rumi, sufi besar yang lahir pada 30 September 1207, dipercaya banyak orang tidak akan pernah menjadi Rumi yang kita kenal sekarang bila ia tidak pernah berjumpa dengan Syamsuddin Tabrizi. Diceritakan bahwa suatu hari Rumi mengajar di kelas sebagaimana biasanya. Tiba-tiba masuk seorang yang berpenampilan lusuh ke dalam kelas seraya mengajukan pertanyaan, "Siapa yang lebih agung: Abu Yazid al-Busthami atau Nabi Muhammad?"
Rumi, yang langsung merasakan energi tatapan mata sang penanya menembus jiwanya, menjawab, "Nabi Muhammad lebih agung!" Orang tersebut, yang kemudian dikenal sebagai Syams, berkata lagi, "Mengapa Nabi Muhammad? Bukankah Nabi mengatakan, 'Kami belum mengenal-Mu sebagaimana Engkau layak dikenal', sementara Abu Yazid berseru, 'Betapa agung kedudukanku; mahasuci dan mahatinggi diriku'?"

Rumi terdiam membisu. Ucapan Syams seakan-akan menunjukkan Abu Yazid, yang mengaku mengalami "persatuan" (al-ittihad) dengan Tuhan, lebih agung dibanding Nabi. Melihat Rumi terdiam, Syams memberitahu bahwa kehausan Abu Yazid akan Tuhan terpuaskan sesudah minum seteguk air makrifat, sementara Nabi Muhammad tak pernah terpuaskan, sebab beliau senantiasa haus akan pengetahuan ilahi lebih banyak lagi. Jadi, justru di sinilah keagungan Nabi Muhammad yang melebihi Abu Yazid.

Penjelasan Syams konon membuat Rumi jatuh, menangis dan tak sadarkan diri. Kita tak tahu apa yang dirasakan oleh Rumi saat itu, yang jelas sejak peristiwa itu Rumi berkhalwat bersama Syams selama tiga bulan. Rumi belajar kembali dari awal tentang Cinta Ilahi.
Kisah di atas menggambarkan betapa Tuhan itu amat dekat dengan kita--"lebih dekat dari urat leher kita"-- namun sebenarnya pada saat yang sama ada jarak yang tak terhingga antara seorang hamba dengan Tuhannya. Allah itu sangat dekat namun ia pun sangat jauh pada saat yang bersamaan.
Ilustrasi berikut mungkin bisa menyederhanakan persoalan: Ketika kita lama tak bertemu dengan orang yang kita kasihi, di saat kita bertemu kembali kita peluk dia dengan segenap perasaan cinta dan rindu; seakan-akan kita adalah tubuh yang satu, hati kita menyatu dengan hatinya, hasrat dan kerinduan kita menyatu dengan hasrat dan kerinduannya jua. Namun, pada saat itu pula kita tetaplah kita dan kekasih kita tetaplah manusia yang lain. Begitulah, hamba tetaplah hamba; dan Allah tetaplah sebagai Tuhan kita.
Di sinilah lahir pengakuan Nabi Muhammad bahwa beliau belum mengenal Allah sebagaimana Allah layak dikenal. Pengakuan ini menunjukkan tidak pernah ada kata akhir dalam mendekati dan mengenal Tuhan. Tidak bisa seorang manusia mengklaim bahwa dia telah "bersatu" dengan Tuhan secara utuh, penuh.

Ketika seorang hamba telah mencapai satu maqam (kedudukan) di sisi Allah, sebenarnya ia baru saja hendak mencapai maqam yang lebih tinggi. Tidak ada maqam atau stasiun terakhir dalam berupaya mendekati Allah. Tidak ada kata final dalam memeluk Islam!
Di bulan Ramadhan ini kita dekati Allah dengan penuh harap. Kita tundukkan ego kita, kita tahan lapar dan dahaga demi untuk-Nya. Kita penuhi malam kita dengan ayat suci al-Qur'an dan shalat malam. Boleh jadi di penghujung Ramadhan "kelas" kita telah naik; maqam kita telah meningkat.
Selepas bulan ramadhan, di saat "pintu-pintu neraka di buka kembali", di saat ikatan iblis telah dilepas kembali", pada saat itulah kita menempuh ujian: apakah "kelas" kita akan turun lagi, atau semakin meningkat?

Pertanyaan Syams, yang kemudian menghilang secara misterius pada 1247, di atas telah mengajari kita bahwa kita sebaiknya tak pernah puas akan amal ibadah kita. Ramadhan sebentar lagi akan berlalu, puaskah kita hanya shalat malam di bulan ramadhan? Cukupkah bagi kita hanya menundukkan ego di bulan Ramadhan semata?
Seperti Rumi yang bersedia merajut kembali Cinta Ilahi dari awal, semoga kita masih bersedia mencari Cinta Ilahi selepas Ramadhan nanti.Seperti Nabi Muhammad, semoga kita tak pernah puas meminum "seteguk air ilahi", di dalam Ramadhan; lebih-lebih di luar bulan Ramadhan.


Hampir Saja Langit Pecah
Paling tidak, ada dua peristiwa yang menyebabkan langit hampir pecah. Pertama, dalam surat Maryam ayat 90-91 disebutkan:

"Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak"

Kedua, al-Qur'an menginformasikan kepada kita peristiwa lain yang juga hampir saja membuat langit pecah, yaitu dalam surat Asy-Syura ayat 5:

"Hampir saja langit itu pecah dari sebelah atasnya (karena kebesaran Tuhan) dan malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhannya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Dua peristiwa dengan dua sebab yang berbeda hampir saja menghasilkan kejadian yang luar biasa, yaitu pecahnya langit. Pada persitiwa yang pertama, langit hampir pecah karena kemurkaan Allah SWT. terhadap mereka yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anak. Ucapan atau tuduhan itu begitu dahsyat kemungkarannya. Betapa tidak, Allah yang berbeda dengan makhluk manapun itu --"mukhalafatu lil hawadits-- diserupakan dengan manusia (yang mempunyai anak) yang justru diciptakan-Nya untuk beribadah kepada-Nya.
Penyerupaan ini jelas membuat Allah murka!

Peristiwa kedua terjadi justru karena kebesaran Allah. Malaikat pun bertasbih serta memuji Allah dan memohonkan ampunan bagi penduduk bumi. Kebesaran dan keagungan Allah tidak terkira sehingga ketika Dia diminta Nabi Musa menampakkan wujud-Nya, bukit tempat Musa berdiri menjadi hancur dan Musa jatuh pingsan. Kali ini Allah menampakkan kebesaran-Nya pada langit, dan langit yang demikian luas itu hampir pecah karena tak mampu menyaksikan kebesaran dan keagungan Allah.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kisah-kisah di atas?

Seringkali ketika kita berkuasa, kita bertingkah laku hendak menyerupai Allah. Kitalah pemegang nasib bawahan kita. Hanya dengan selembar kertas yang kita tandatangani seorang anak manusia bisa jatuh terduduk atau bisa meloncat-loncat kegirangan. Ketika ada rakyat yang hendak datang ke kantor, kita lempar ia dari satu meja ke meja berikutnya.

Semua kebijakan tergantung petunjuk kita; semua pengacau kekuasaan kita beri hadiah "azab yang pedih" dan nyawa mereka tak ada harganya bagi kita. Senyum kita menjadi tanda tanya; apakah sedang suka atau sedang marah. Bawahan kita sibuk menafsirkan gerak tubuh kita hanya untuk menyelami apakah kita sedang suka atau tengah berduka.

Saya khawatir pada saat kita berprilaku menyerupai kekuasaan Allah maka langit akan pecah karena murka Allah. Bukankah segala bentuk penyerupaan harus ditiadakan; apakah itu berarti memiliki kekuasaan tiada batas, memberi azab ataupun menentukan nyawa orang lain. Segala bentuk kesombongan dan takabur harus dilenyapkan, karena hanya Allah yang berhak untuk takabur (Al-Mutakabbir).
Sementara itu, di sepuluh malam terakhir Ramadhan ini, kita menunggu langit yang hampir pecah, saat Malaikat bertasbih memuji Allah dengan suara yang bergemuruh, mereka turun atas perintah Allah dan memohon ampun untuk penduduk bumi. Kita sambut kehadiran malaikat itu dengan gemuruh suara tasbih dan rintihan tangisan memohon ampunan Allah. Puji-pujian dari penduduk langit kepada Allah bertemu dengan puji-pujian penduduk bumi untuk Allah. Boleh jadi langit hampir pecah pada malam-malam akhir Ramadhan ini.

Pertanyaannya, tengoklah diri kita sekarang baik-baik. Yang mana yang kita tunggu? apakah kita menunggu langit hampir pecah karena murka Allah atau karena kebesaran-Nya?

0 komentar:

:10 :11 :12 :13
:14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21

Posting Komentar